TERAPI BERPUSAT KLIEN (Client Centered Teraphy)

Terapi berpusat pada klien (Client Centered Teraphy) merupakan salah satu teknik alternatif dalam praktik pekerjaan sosial, terutama bagi terapis yang tidak begitu menguasai secara baik beberapa teori dan praktik pekerjaan sosial, walaupun begitu bukan berarti tanpa tantangan dan keahlian yang spesific. Beberapa teori dan praktik pekerjaan yang bersifat dasar tetap menjadi kebutuhan mutlak dalam teknik terapi ini. Tulisan ini akan berusaha menjelaskan tentang latarbelakang historis terapi client centered, beberapa asumsi dasar, prinsip, tujuan dan teknik serta proses terapi client centered.
1. Latar Belakang Historis Terapi Client Centered
  • Terapi Client Centered dipelopori oleh Carl R . Rogers sebagai reaksi terhadap apa yang disebutnya sebagai keterbatasan-keterbatasan mendasart dari psikoanalisis;
  • Pada hakikatnya pendekatan Client Centered merupakan cabang khusu dari terapi Humanistik yang menggaris bawahi tindakan mengalami klien berikut duni subjektif dan fenomenalnya;
2. Beberapa Asumsi Dasar Terapi Client Centered
  • Individu memiliki kapasitas untuk membimbing, mengatur, mengarahkan, dan mengendalikan dirinya sendiri apabila ia diberikan kondisi tertentu yang mendukung
  • Individu memiliki potensi untuk memahami apa yang terjadi dalam hidupnya yang terkait dengan tekanan dan kecemasan yang ia rasakan.
  • Individu memiliki potensi untuk mengatur ulang dirinya sedemikian rupa sehingga tidak hanya untuk menghilangkan tekanan dan kecemasan yang ia rasakan, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan diri dan mencapai kebahagiaan.
3. Prinsip-Prinsip dalam Terapi Client Centered
  • Kita berperilaku sesuai dengan persepsi kita terhadap realitas. Berkaitan dengan hal ini, untuk memahami masalah klien, maka kita harus benar-benar memahami bagaimana ia mempersepsikannya.
  • Kita termotivasi oleh dorongan primer bawaan lahir yang berupa dorongan untuk mengaktualisasikan diri. Secara otomatis individu akan mengembangkan potensinya dalam kondisi-kondisi yang mendukung. Kondisi-kondisi ini dapat diciptakan dalam terapi dan oleh karena itu, terapis harus bersikap nondirektif.
  • Individu memiliki kebutuhan dasar akan cinta dan penerimaan. Dalam terapi, hal ini diterjemahkan sebagai adanya kebutuhan untuk fokus pada hubungan (antara terapis dan klien-red) dan pengkomunikasian empati, sikap menghargai, dan ketulusan dari terapis.
  • Konsep diri individu bergantung pada penerimaan dan penghargaan yang ia terima dari orang lain. Konsep diri klien dapat ia ubah apabila ia mengalami penghargaan positif tanpa syarat (unconditional positive regard) dalam terapi.
4. Tujuan Terapi Client Centered
a. Keterbukaan pada Pengalaman
Sebagai lawan dari kebertahanan, keterbukaan pada pengalamam menyiratkan menjadi lebih sadar terhadap kenyataan sebagaimana kenyataan itu hadir di luar dirinya.
b. Kepercayaan pada Organisme Sendiri
Salah satu tujuan terapi adalah membantu klien dalam membangun rasa percaya terhadap diri sendiri. Dengan meningknya keterbukaan klien terhadap pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan kilen kepada dirinya sendiri pun muali timbul.
c. Tempat Evaluasi Internal
Tempat evaluasi internal ini berkaitan dengan kepercayaan diri, yang berarti lebih banyak mencari jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi masalah-masalah keberadaannya. Orang semakin menaruh perhatian pada pusat dirinya dari pada mencari pengesahan bagi kepribadiannya dari luar. Dia mengganti persetujuan universal dari orang lain dengan persetujuan dari dirinya sendiri. Dia menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.
d. Kesediaan untuk menjadi Satu Proses.
Konsep tentang diri dalam proses pemenjadian merupakan lawan dari konsep diri sebagai produk. Walaupun klien boleh jadi menjalani terapi untuk mencari sejenis formula guna membangun keadaan berhasil dan berbahagia, tapi mereka menjadi sadar bahwa peretumbuhan adalah suatu proses yang berkesinambungan. Para klien dalam terapi berada dalam proses pengujian persepsi-persepsi dan kepercayaan-kepercayaannya serta membuka diri bagi pengalaman-pengalaman baru, bahkan beberapa revisi.
5. Beberapa Elemen Pokok dan Proses Terapi
Pada tahun 1957, Rogers mengajukan elemen-elemen berikut ini yang ia yakini merupakan elemen-elemen atau kondisi-kondisi pokok yang diperlukan untuk mendapatkan hasil terapi yang positif, yakni :
  • Terapis bersikap tulus dan kongruen dalam hubungan itu.
  • Terapis merasakan penerimaan tanpa syarat terhadap kliennya.
  • Terapis memiliki pemahaman empatik terhadap pola pikir klien.
  • Setidaknya klien mempersepsikan ketiga hal di atas, meski tidak sepenuhnya.
Proses terapi dan konseling dalam pendekatan client-centered pada dasarnya adalah sebagai berikut:
  • Terapis dan klien membangun kontrak konseling yang bersifat mutual (saling).
  • Terapis menampilkan suatu sikap dalam hubungan yang dicirikan dengan kondisi-kondisi pokok (seperti yang disebutkan di atas).
  • Kapasitas klien yang terbesar untuk menyelesaikan masalah dilepaskan karena dia bebas dari kecemasan dan keraguan yang menghalangi potensinya selama ini.
Untuk aliran person-centered, penanganan yang ditujukan kepada kelompok hanya diterima oleh sebagian kalangan pekerja sosial. Pekerjaan sosial telah memiliki sejarah panjang dalam menangani klien kelompok, jauh sebelum prinsip-prinsip person-centered diaplikasikan dalam bidang penanganan kelompok ini. Aplikasi utama dari prinsip-prinsip teori person-centered untuk penanganan kelompok adalah kelompok pertemuan atau yang disebut dengan Kelompok T (T-group), sebagaimana yang dikembangkan oleh Rogers (1970).
Rogers (1970) mencatat hal-hal berikut ini sebagai hal yang penting untuk tercapainya proses perubahan dalam kelompok:
  • Iklim yang menciptakan rasa aman
  • Perasaan dan reaksi yang diekspresikan dengan segera
  • Saling percaya
  • Perubahan sikap dan perilaku
  • Pengertian dan keterbukaan
  • Umpan balik
  • Inovasi, perubahan dan risiko
  • Penerapan apa yang telah dipelajari dalam kelompok terapeutik ke situasi lain
Banyak hal di atas yang dianggap sebagai elemen penting dari proses saling membantu sebagaimana yang terjadi dalam kelompok tersebut (Shulman, 1979). Begitu pula, deskripsi berikut ini yang memuat tentang tujuan-tujuan sang terapis yang memimpin kelompok (Beck, 1974), yang juga sesuai dengan orientasi para pekerja sosial yang menangani kelompok:
  1. Fasilitasi anggota kelompok untuk bertanggung jawab atas diri mereka sendiri dalam segala cara yang realistis
  2. Klarifikasi dan penyelesaian masalah serta konflik dengan suatu proses pemahaman terhadap diri sendiri dan pengembangan pemahaman empatis terhadap orang lain
  3. Pengakuan atas diri klien sebagaimana adanya dan pengakuan atas realitas yang ia hadapi, sebagaimana ia mempersepsikannya
  4. Upaya untuk menujukkan sikap yang tidak menghakimi demi membantu klien untuk menggali dan melakukan refleksi terhadap dirinya sendiri
  5. Pengakuan atas pentingnya sedapat mungkin mempertahankan kejelasan pandangan, perasaan, dan reaksi terapis sendiri sementara ia berada dalam hubungan terapeutik
Apabila pemimpin kelompok (terapis-red) menciptakan kondisi-kondisi dasar seperti di atas, maka terbukti bahwa hal itu akan berdampak positif untuk meningkatkan proses eksplorasi diri klien (O’ Hare, 1979).
Dengan ciri adanya tujuan terapeutik dari kelompok pertemuan tersebut dan adanya fokus tetap pada individu-individu dalam kelompok, maka kelompok tersebut paling tepat disebut sebagai model remedial dalam pekerjaan sosial kelompok. Bagaimanapun, banyak prinsip-prinsip dasar dan beberapa teknik yang lebih mirip dengan model resiprokal dalam pekerjaan sosial kelompok. Beberapa aspek, seperi adanya kepatuhan pada prinsip demokratis, adalah terkait dengan prinsip umum pekerjaan sosial yang menangani kelompok. Baru-baru ini, beberapa peneliti mengajukan argumentasi bahwa mungkin ada beberapa kesesuaian antara aktivitas penstrukturan proses kelompok dannondirectiveness (penanganan klien dengan member klien tersebut kesempatan untuk menentukan sendiri apa yang terbaik baginya –red) (Coughlan & McIlduff, 1990). Ini memberi kesempatan agar pekerjaan sosial kelompok dapat digunakan lebih banyak lagi, misalnya untuk klien dengan tingkat keberfugsian rendah atau klien yang datang bukan atas kemauan sendiri (Foreman, 1988; Patterson, 1990).

Komentar

Postingan Populer