Berhubungan Seks dengan Pacar





Selamat pagi semua, sebelumnya saya ingin mengucapkan Selamat menjalankan ibadah puasa bagi seluruh umat muslim. Hampir semua pembaca tau apa arti pacaran. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, Berpacaran adalah bercintaan; (atau) berkasih-kasihan (dengan sang pacar). Menurut hemat saya pacaran adalah sebuah hubungan yang mempunyai komitmen antara dua individu tanpa kesahan yang pasti. Pacaran bisa menjadikan kita sebagai individu yang lebih bersemangat dalam menjalankan kegiatan sehari-hari namun terkadang (masalah dalam) pacaran membuat beberapa individu bisa sampai melakukan bunuh diri. Berikut adalah contoh kasus masalah yang bisa hadir dan pandangan hukum ketika sebuah hubungan (pacaran) tidak lagi menjadi penyemangat kita dalam melakukan berbagai aktivitas.

Apakah seseorang yang melakukan hubungan seks dengan pacarnya bisa dipenjara atau diancam hukuman pidana?

Sebelumnya harus dilihat terlebih dahulu berapa usia dari pasangan laki-laki dan perempuan ini. Jika usia salah satu atau keduanya ada yang 18 tahun ke bawah, maka ada kemungkinan dapat diancam dengan pidana. Sedangkan jika keduanya sudah dewasa (berusia lebih dari 18 tahun) dan melakukan hubungan seks tersebut atas dasar suka sama suka, maka tidak dapat dipidana.

Berbeda lagi jika salah satu dari mereka ternyata sudah menikah. Jika si laki-laki atau si perempuan, atau keduanya, telah menikah, kemudian mereka berpacaran dan melakukan hubungan seks, maka mereka dapat dijerat pidana atas dasar melakukan perzinahan. Ancaman hukumannya penjara paling lama 9 bulan.

Bisakah Dipenjara Karena Berhubungan Seks dengan Pacar?

Apakah seseorang dapat masuk penjara karena melakukan hubungan seks dengan pacarnya? Sedangkan, itu adalah keputusan bersama dalam melakukan hubungan seks tersebut.
askhukum

Jawaban:
Liza Elfitri, S.H., M.H.
Legalitas hubungan seks antara seorang pria dan wanita, telah diatur sedemikian rupa di dalam hukum agama dan diakomodasi dalam hukum positif di Republik Indonesia. Perkawinan adalah pranata/lembaga yang melegalkannya. 

Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

Sehubungan dengan pertanyaan Saudara, apakah seseorang dapat masuk penjara karena melakukan hubungan seks dengan pacarnya? Kami menjawabnya sebagai berikut :

a. Berhubungan seks dengan pacar di luar pranata perkawinan tentunya bertentangan dengan nilai-nilai moral yang dianut di dalam masyarakat. Oleh karena itu, sebaiknya dihindari karena menimbulkan ketidaktenangan batin bagi pelaku dan ‘minus’ tanggung jawab yang nanti akan dirasakan oleh pihak wanita. 

b. Hukum positif hanya mengatur dan memberikan sanksi pidana bagi pelaku hubungan seks di luar nikah (perzinahan) terhadap:

1.    Apabila salah satu pelaku perzinahan terikat pernikahan (Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP)

2.    Melakukan perzinahan dengan seorang wanita, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum 15 tahun, atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa belum masanya untuk kawin (Pasal 287 jo. Pasal 290 KUHP).

3.    Melakukan perzinahan dengan ancaman kekerasan atau melakukan perkosaan (Pasal 285 KUHP).

4.    Melakukan perzinahan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau dalam keadaan tidak berdaya (Pasal 286 KUHP).

c.         selain dari kondisi-kondisi yang diatur dalam pasal-pasal KUHP di atas, maka berdasarkan asas legalitas, seseorang yang melakukan hubungan seks dengan pacarnya atas dasar suka sama suka (keputusan bersama), tidak dapat dijerat pasal perzinahan.

Jika perbuatan tersebut (hubungan seks dengan pacar atas dasar suka sama suka) dilakukan di mana salah satu atau keduanya masih anak–anak (belum mencapai usia 18 tahun), maka pelakunya dapat diancam pidana karena pencabulan anak sebagaimana diatur dalam Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”


Pelaku Persetubuhan Karena Suka Sama Suka, Bisakah Dituntut?

Saya minta keterangan, apabila terjadi seorang lelaki dewasa melakukan hubungan intim dengan anak di bawah umur 18 tahun suka sama suka, apakah ini termasuk dalam pencabulan anak di bawah umur? Apabila anak ini telah berumur di atas 18 tahun, apakah dia dapat menuntut lelaki tersebut? Padahal terjadi karena suka sama suka. Terima kasih.
aliensaja

Jawaban:
Amrie Hakim, S.H.
Sebelumnya, perlu diketahui bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”).

Orang yang melakukan persetubuhan dengan anak, meskipun dilakukan atas dasar suka sama suka, dapat dijerat dengan Pasal 81 ayat (2) jo ayat (1) UU Perlindungan Anak, yang selengkapnya berbunyi:

    Pasal 81

    (1)      Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

    (2)      Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Selain itu, orang yang melakukan persetubuhan dengan anak dapat juga dijerat dengan Pasal 82 UU Perlindungan Anak yang selengkapnya berbunyi:


    Pasal 82

    Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Sedangkan, jika persetubuhan tersebut dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dan atas dasar suka sama suka serta dengan kesadaran penuh, maka  tidak dapat dilakukan penuntutan pidana terhadap laki–laki tersebut.

Lain halnya, jika salah satu atau keduanya terikat dalam perkawinan, maka perbuatan tersebut dapat dipidana karena zina sepanjang adanya pengaduan dari pasangan resmi salah satu atau kedua belah pihak.


Hukum Dry Humping di Indonesia
Bisakah dipenjara bila remaja di bawah umur melakukan seks tanpa buka baju (dry humping)?

Jawaban:
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.

Dry humping menurut laman doktersehat.com, juga dikenal dengan istilah lainnya yaitu frottage merupakan sebuah istilah untuk mengekpresikan gerakan seks untuk saling menggesek untuk meraih kenikmatan seksual tanpa sekalipun melakukan penetrasi.

Karena tidak ada penetrasi, seperti dijelaskan dalam laman urbandictionary.com, dry humping biasanya dilakukan tanpa membuka pakaian, yakni hanya dengan menggesek-gesekkan tubuh dengan tekanan secara bersamaan di daerah rangsangan seksual dengan berpakaian.

Selain itu, dalam kamuskesehatan.com dikatakan bahwa frottage atau frotase adalah kenikmatan seksual yang berasal dari bergesekan dengan tubuh atau bagian tubuh orang lain.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas, apabila perbuatan dry humping atau frottage ini dilakukan terhadap anak, maka perbuatan tersebut dapat diancam pidana sesuai yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”).

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Pasal Apa untuk Menjerat Pacar yang Menolak Bertanggung Jawab? jika perbuatan tersebut dilakukan di mana salah satu atau keduanya masih anak–anak, maka pelakunya dapat diancam pidana karena pencabulan anak sebagaimana diatur dalam Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).“

Untuk mengetahui apakah perbuatan dry humping atau frottage merupakan kategori “perbuatan cabul” yang dimaksud pada Pasal 82 UU Perlindungan Anak, maka kita mengacu pada penjelasan R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal” tentang pembahasan Pasal 289.

Arti perbuatan cabul menurut Soesilo adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dsb (hal. 212).

Menurut hemat kami, perbuatan dry humping atau frottage yang dilakukan oleh salah satu atau keduanya masih anak-anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 UU Perlindungan Anak merupakan perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) yang termasuk dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, yakni masuk kategori perbuatan cabul. Oleh karena itu, pelakunya dapat diancam sesuai dengan Pasal 82 UU Perlindungan Anak.

Lain halnya apabila perbuatan tersebut dilakukan hingga adanya penetrasi (persetubuhan). Soesilo memberikan penjelasan yang dimaksud dengan persetubuhan adalah peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus masuk ke dalam anggota perempuan, sehingga mengeluarkan air mani (hal. 209).

Apabila perbuatan persetubuhan tersebut dilakukan terhadap anak (belum berusia 18 tahun), maka ancaman pidanya terdapat pada Pasal 81 UU Perlindungan Anak yang ancaman pidananya sama dengan Pasal 82 UU Perlindungan Anak.

Melihat dari bagaimana dilakukannya dry humping atau frottage dan persetubuhan, keduanya dilakukan dengan cara berbeda. Dry humping atau frottage dilakukan dengan berpakaian, sedangkan persetubuhan dilakukan dengan membuka pakaian karena tujuan penetrasi itu tadi.

Jadi, meskipun dry humping atau frottage seperti yang Anda tanyakan dilakukan tanpa melepas pakaian, tetap saja perbuatan tersebut merupakan tindak pidana pencabulan yang apabila dilakukan oleh di bawah umur diancam pidana seperti yang terdapat dalam Pasal 82 UU Perlindungan Anak.



Langkah Hukum Jika Pacar Tidak Berani Pertanggungjawabkan Perbuatannya

Pak, saya mahasiswi berusia 21 tahun, saya ada masalah dengan pacar saya. Kami udah kelewat batas dan ketika saya dan orangtua saya meminta pertanggungan jawabnya, keluarganya menolak dengan alasan saya sudah dilecehkan terlebih dahulu. Padahal hal tersebut tidak benar, memang saya tidak mempunyai bukti tapi pacar saya tahu betul tentang itu. Dia tidak berani mempertanggungjawabkan perbuatannya karena dia diintimidasi oleh orangtuannya. Apa yang harus saya dan keluarga saya lakukan? Masalah ini sudah berjalan 2 bulan dan bahkan saya sempat hamil namun keguguran, keluarga pacar saya sampai sekarang masih mengetahui kalau saya sedang hamil, Tolonglah apa yang harus aku lakukan lagi? 

Jawaban:
Ali Salmande, S.H.

Bila mengacu ke peraturan perundangan-undangan yang ada, posisi Anda sulit untuk mempersoalkan kekasih Anda secara hukum. Bila mengacu ke UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), usia Anda sudah dinilai cukup dewasa untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang Anda lakukan.

Pasal 287 ayat (1) KUHP menyatakan, ‘Barangsiapa bersetubuh dengan perempuan bukan isterinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun’.

Bila menggunakan pasal yang mengatur perkosaan, Anda juga tak bisa melaporkan pacar Anda ke polisi karena tidak ada unsur paksaan dalam perbuatan itu. Berdasarkan cerita yang Anda sampaikan, kami berkesimpulan bahwa perbuatan itu dilakukan atas dasar suka sama suka.

Lalu, bagaimana dengan penipuan?

Dahulu, ada putusan Pengadilan Tinggi Medan No.144/PID/1983/PT Mdn yang diketuai oleh Bismar Siregar yang menghukum seorang pria yang menghamilli seorang perempuan dengan tuduhan penipuan, dengan hukuman 3 tahun penjara. Untuk memenuhi unsur penipuan, Bismar menafsirkan bahwa ‘kemaluan perempuan’ dapat disamakan dengan barang. Tapi, putusan ini tak bisa digunakan sebagai dasar karena Mahkamah Agung (“MA”) akhirnya membatalkan putusan yang cukup kontroversial ini.

Hukum Perdata

Namun, Anda tak perlu berkecil hati terlebih dahulu, bila Anda sulit memintai pertanggungjawaban kekasih Anda secara pidana, Anda bisa menggunakan melalui jalur perdata. Anda bisa menggugat kekasih Anda karena telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”) dan meminta sejumlah ganti rugi kepada kekasih Anda (atau keluarganya) karena tak mau bertanggung jawab.

Berdasarkan artikel ‘Tidak Menepati Janji Menikahi adalah PMH’, MA pernah menghukum seorang pria yang menjadi tergugat melakukan Perbuatan Melawan Hukum karena tak menepati janji untuk menikahi, dalam sebuah kasus yang terjadi di Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan keterangan atasan tergugat, tergugat sudah memperkenalkan penggugat sebagai calon istrinya kepada orang lain.

Beberapa dokumen penting, seperti tabungan, juga sudah diserahkan tergugat kepada penggugat (wanita yang dihamilinya) sebagai  bukti keseriusannya mau menikahi. Mereka juga sudah hidup bersama. Namun, ketika si perempuan menagih janji untuk dinikahi, si laki-laki ingkar. MA menyatakan perbuatan si pria ‘melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat’. Karena itu pula, perbuatan si pria dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.

Kasus ini memang tak sama persis dengan apa yang Anda alami. Namun, kasus ini bisa menjadi gambaran bagi Anda bila ingin menggugat kekasih Anda (dan keluarganya) di jalur perdata, dengan tuduhan PMH dan meminta sejumlah ganti rugi, maka Anda harus bisa menyiapkan bukti-bukti berupa janji-janji kekasih Anda yang akan menikahi Anda.


Bisakah Ditangkap Polisi Karena Berduaan dengan Pacar?

Assalamualaikum wr. wb. langsung saja ya pak. Ceritanya begini, umurku 23 tahun, aku pacaran dengan anak 16 tahun. Waktu kami berduaan di pinggir jalan tiba-tiba ada dua polisi berhenti dan meminta KTP saya. Saya serahkan, tapi dia berbicara seakan-akan aku melanggar hukum dan aku akan dibawa ke polres. Terus jika tidak ingin dibawa ke polres aku disuruh menyerahkan uang sebesar Rp600 ribu. Setelah nego cukup lama akhirnya tak kasih Rp100 ribu dia mau, terus aku dilepaskan. Pertanyaanku benarkah aku bisa dipidana (cewek yang bersamaku diizinkan orang tuanya)? Terus polisi tersebut apa bisa dikatakan melakukan pemerasan? Kalau bisa aku melapornya ke mana dan apa yang bisa aku buktikan?

Jawaban:
Muhammad Vareno Tarnes, S.H.
Pertama mengenai bisa tidaknya Anda dipidana. Terkait ini kita perlu mencermati ketentuan Pasal 281 ayat (1) ke-1 KUHP yang menyatakan;

“Dihukum pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.500 barang siapa dengan sengaja di muka umum melanggar kesusilaan.”

Menurut R. Soesilo dalam buku “KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal”, kata “kesusilaan” dalam Pasal 281 ayat (1) tersebut berhubungan dengan hal-hal yang terkait nafsu kelamin, misalnya berciuman, bersetubuh, meraba alat vital perempuan, memperlihatkan alat kelamin, dan lain sebagainya.

Dalam kasus Anda, perlu penjelasan lebih lanjut apa yang sedang Anda dan  pacar Anda lakukan pada saat didatangi polisi. Jika ternyata saat itu Anda didapati sedang melakukan salah satu perbuatan di atas, maka polisi tersebut memang berwenang memeriksa Anda.

Terlebih lagi, jika ternyata polisi memang mendapati Anda melakukan perbuatan lebih dari sekedar duduk berduaan, Anda bisa saja dijerat dengan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak  (“UU Perlindungan Anak”). Karena, gadis yang Anda akui sebagai pacar masih tergolong anak menurut UU tersebut. Sehingga, ancaman pidananya bahkan jauh lebih berat.

Pasal 82 UU Perlindungan Anak menyatakan:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”

Unsur yang perlu diperhatikan adalah membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul. Dalam UU Perlindungan Anak, batas usia dewasa adalah 18 (delapan belas) tahun.

Mengenai perbuatan cabul, R. Soesilo mengatakan perbuatan cabul adalah semua perbuatan yang melanggar kesusilaan dalam lingkup nafsu birahi. Contohnya, sama dengan yang kami jelaskan di atas. Artinya, sebagaimana sudah disampaikan, jika pada saat didatangi polisi Anda kedapatan sedang melakukan salah satu perbuatan yang melanggar kesusilaan di atas, maka Anda kemungkinan dapat pula dijerat dengan Pasal 82 UU Perlindungan Anak. Meskipun gadis itu pergi bersama Anda atas izin orang tuanya.

Sedangkan, jika ternyata Anda berdua hanya duduk saja di pinggir jalan, bukan berarti Anda bisa bebas dari ancaman pidana. Menurut R. Soesilo, dalam komentarnya untuk Pasal 281 ayat (1) KUHP, Polisi perlu mempertimbangkan nilai-nilai kesopanan yang dianut masyarakat setempat. Sifat melanggar kesusilaan ini amat bergantung pada pendapat umum pada waktu dan tempat kejadian berlangsung. Artinya, jika masyarakat setempat menilai duduk berduaan di ruang publik antara lelaki dan perempuan yang belum menikah adalah salah, ada kemungkinan Anda pun dapat dijerat dengan pasal-pasal yang kami sebutkan di atas.

Kedua, mengenai tindakan polisi yang meminta uang kepada Anda, menurut hemat kami, tindakan tersebut tidak sepatutnya dilakukan oleh polisi. Jika Anda merasa dirugikan karena tindakan polisi tersebut, Anda bisa melaporkan yang bersangkutan kepada Komisi Kepolisian Nasional (“Kompolnas”). Hal ini merupakan kewenangan Kompolnas, sebagaimana diatur Pasal 38 ayat (2) huruf c UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI:

“Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Komisi Kepolisian Nasional berwenang untuk menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikannya kepada Presiden.”

Pasal untuk Menjerat Pacar yang Suka Menganiaya Pasangannya

Saya sering bertengkar dengan pacar, saat saya bertengkar, pacar saya sering berbuat keras sama saya. Kebiasaan berbuat keras terhadap saya sudah berjalan setahun lebih. Ketika pacar saya marah, saya selalu ditampar, ditinju sampai lebam, diberi kata kotor, digigit, ditendang, diinjak, ditusuk. Kepala saya sering dipukul, bibir saya juga beberapa kali berdarah bahkan sampai robek karena pukulan. Selain itu, kepala saya juga sering dibenturkan ke tembok. Apakah saya bisa menggugat kasus seperti ini? Kira-kira berapa tahun penjara untuk kasus seperti ini?

Jawaban:
Letezia Tobing, S.H.

Dalam hal ini, Anda tidak menyebutkan usia Anda. Jika usia Anda sebagai korban belum mencapai 18 tahun, maka secara hukum Anda dikategorikan sebagai anak. Pelaku penganiayaan anak dapat dijerat dengan Pasal 80 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang berbunyi:

“Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).”

Tapi, jika usia Anda adalah 18 tahun atau lebih, maka Anda dapat melakukan tuntutan atas dasar penganiayaan yang diatur dalam Bab XX Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).

Dalam Bab XX KUHP tersebut, dapat kita lihat bahwa ada 3 (tiga) macam penganiayaan, yaitu:

1.    Penganiayaan biasa (Pasal 351 KUHP);

2.    Penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP), dan

3.    Penganiayaan berat (Pasal 354 KUHP).

Perbuatan pacar Anda dapat dipidana sebagai penganiayaan biasa jika memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 351 KUHP:

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.


Mengenai penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, mengatakan bahwa undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan “penganiayaan” itu. Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan dengan “penganiayaan” yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Menurut alinea 4 pasal ini, masuk pula dalam pengertian penganiayaan ialah “sengaja merusak kesehatan orang”.

R. Soesilo dalam buku tersebut juga memberikan contoh dengan apa yang dimaksud dengan “perasaan tidak enak”, “rasa sakit”, “luka”, dan “merusak kesehatan”:

1.    “perasaan tidak enak” misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan sebagainya.

2.    “rasa sakit” misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya.

3.    “luka” misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan lain-lain.

4.    “merusak kesehatan” misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin.

Penjelasan lebih jauh, simak artikel Perbuatan-perbuatan yang Termasuk Penganiayaan.

Penganiayaan ini dalam Pasal 351 KUHP dinamakan “penganiayaan biasa”. Diancam hukum lebih berat, apabila penganiayaan biasa ini berakibat luka berat atau mati. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan “luka berat”, kita merujuk pada Penjelasan Pasal 90 KUHP. Luka berat atau luka parah ialah antara lain:

1.    Penyakit atau luka yang tak boleh diharap akan sembuh lagi dengan sempurna atau dapat mendatangkan bahaya maut. Jadi luka atau sakit bagaimana besarnya, jika dapat sembuh kembali dengan sempurna dan tidak mendatangkan bahaya maut itu bukan luka berat;

2.    Terus menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan. Kalau hanya buat sementara saja bolehnya tidak cakap melakukan pekerjaannya itu tidak masuk luka berat. Penyanyi misalnya jika rusak kerongkongannya, sehingga tidak dapat menyanyi selama-lamanya itu masuk luka berat;

3.    Tidak lagi memakai (kehilangan) salah satu pancaindera. Pancaindera = penglihatan, pencium, pendengaran, rasa lidah dan rasa kulit. Orang yang menjadi buta satu mata atau tuli satu telinga, belum masuk dalam pengertian ini, karena dengan mata dan telinga yang lain ia masih dapat melihat dan mendengar;

4.    Kudung (rompong) dalam teks bahasa Belandanya “verminking”, cacad sehingga “jelek” rupanya, karena ada sesuatu anggota badan yang putus, misalnya hidungnya rompong, daun telinganya teriris putus, jari tangan atau kakinya putus dan sebagainya;

5.    Lumpuh artinya tidak bisa menggerakkan anggota badannya;

6.    Berubah pikiran lebih dari empat minggu. Pikiran terganggu, kacau, tidak dapat memikir lagi dengan normal, semua itu lamanya haris lebih dari empat minggu, jika kurang, tidak masuk pengertian luka berat;

7.    Menggugurkan atau membunuh bakal anak kandungan ibu.

Selain dari 7 macam tersebut di atas menurut yurisprudensi termasuk pula segala luka yang dengan kata sehari-hari disebut “luka berat”. Dalam hal ini tiap-tiap kejadian harus ditinjau sendiri-sendiri oleh hakim dengan mendengarkan keterangan orang ahli (dokter), yang dalam prakteknya keterangan itu disebut “visum et repertum”.

Luka berat atau mati di sini harus hanya merupakan akibat yang tidak dimaksud si pembuat (orang yang menganiaya). Apabila “luka berat” itu dimaksud maka dapat dipidana dengan Pasal 354 KUHP (penganiayaan berat):

(1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian. yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Akan tetapi, jika perbuatan yang dilakukan oleh pacar Anda tidak menjadikan sakit atau berhalangan melakukan pekerjaan Anda, maka perbuatan pacar Anda dapat dipidana sebagai penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP):

(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Jadi berdasarkan uraian di atas, Anda memang dapat melaporkan pacar Anda ke polisi atas dugaan penganiayaan. Sedangkan, untuk perkiraan berapa tahun hukuman penjara yang dapat dijatuhkan kepada pacar Anda, sebagaimana telah kami katakan di atas, hal tersebut bergantung pada akibat yang diderita oleh Anda karena penganiayaan tersebut. Selain itu, bergantung juga pada apakah pacar Anda memang bermaksud untuk menimbulkan akibat penganiayaan tersebut kepada Anda, atau akibat dari penganiayaan tersebut tidak dimaksud oleh pacar Anda (bukan tujuan dari pacar Anda).

Kasus penganiayaan terhadap pacar dapat Anda lihat dalam Putusan No. 538/PID.B/2012/PN-SBG, yang mana terdakwa adalah pacar dari saksi korban. Terdakwa dan saksi korban telah berhubungan pacaran hampir 3 (tiga) tahun. Suatu hari dikarenakan cemburu, terdakwa menganiaya saksi korban dengan menggunakan kedua tangan dan kaki terdakwa serta mulut terdakwa. Perbuatan penganiayaan yang dilakukan oleh terdakwa antara lain menjambak rambut, menyeret saksi, menggigit tangan, menonjok atau menampar wajah, bagian dada, lengan kiri dan kanan, meremas atau menarik payudara saksi korban dan juga mencekik leher saksi korban serta menendang perut saksi korban. Akibat penganiayaan tersebut, saksi korban mengalami batuk, sesak napas, tangan saksi korban bengkak, dan saksi korban terhalang mengerjakan pekerjaan serta susah berbicara. Saksi korban mengatakan bahwa setelah ia dan terdakwa berhubungan pacaran sudah 2 (dua) tahun, terdakwa sering melakukan penganiayaan terhadap saksi. Atas perbuatan penganiayaan tersebut, terdakwa didakwa dengan Pasal 351 ayat (1) KUHP. Majelis Hakim memutuskan menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan.

Sudah seharusnya bagi kita sebagai manusia yang memiliki akal dan pikiran, selalu memikirkan terlebi dahulu apa yang akan kita lakukan. Apabila telah kita lakukan sesuatu hal yang bisa merugikan kita, keluarga, dan orang lain. Maka penyeselan tidak dapat mengembalikan keadaan seperti awal. Kita sebagai masyarakat Indonesia yang berpilar kepada Pancasila tetap harus mengerti memahami serta mengamalkan hukum yang berlaku (meskipun hukum di negara ini sepertinya hanya runcing kebawah).

Semoga tulisan ini bisa menjadi manfaat untuk para pembaca dan bisa dijadikan alasan untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan tersebut. Semoga hari kalian menyenangkan. Selamat Pagi semua :) 

Komentar

Postingan Populer